Aku tau. Tanpa sepengetahuanku, mereka tau. Aku tau.
Dibalik punggungku, mereka membenciku. Aku juga tau, bahkan disampingku ada
kalimat-kalimat yang berusaha merapuhkanku.
Walaupun mereka tau aku benci itu..
Untunglah mereka mengenalku sebagai pribadi yang tenang.
Merespon segalanya dengan santai.
Padahal aku muak.
“Ran.. hoi!!”
“eh? Ne? Doushita no?”
“aku sudah memanggilmu berkali-kali tau! Headsetmu jangan
terus-terusan kau pakai, nanti kau benar-benar tuli!”
Oh, andai aku benar-benar tuli oleh suara-suara sumbang
yang memuakkan itu.
“kau dengar?!” Mou melepaskan headsetku dengan paksa. Aku
mendecih kesal.
“iya iya aku dengar! Kenapa sekarang kau jadi mirip
ibuku?!”
Mou terkikik jahil.
“ke kantin yuk?” ajaknya kemudian. Ide bagus. Setidaknya
aku bisa merefresh sedikit otakku dengan jajanan membosankan di kantin.
“kau kenapa?” Tanya Mou sembari kami berjalan. Jika Mou
disandingkan dengan beberapa mesin pendeteksi, mungkin dia lebih cocok dijuluki
sebagai mesin pendeteksi perasaan yang handal.
“aku risih..” jawabku singkat.
“soal Fujii yang dijodoh-jodohkan dengan perempuan itu?”
Aku mendelik kearahnya. Sedikit ngilu mendengarkan
kalimatnya yang kurasa begitu to the point.
“jealous ne~~ wakatta..wakatta” tebaknya sambil
mengangguk-angguk. Wajahku memerah.
“aku kesal..” aku memanyunkan bibirku. Sedetik kemudian
kusadari tingkahku berubah seperti anak-anak.
“itu sebabnya kau tak melepaskan headsetmu?”
Aku mengangguk pelan.
Mou tersenyum sesaat. Kupikir dia sedang menyusun
strategi untuk membuatku lebih tenang.
“ingat saat kami ngobrol hanya berdua yang pernah
kuceritakan padamu?”
Aku menoleh kearahnya.
“dia tau hubungan kalian ada yang tidak suka. Dia sangat
mengerti itu”
Sejenak aku menghela nafas lebih dalam.
“tapi dia tak merasakan posisiku. Kau tau ketika
perempuan A menyukai seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu ternyata
menyukai perempuan B, pihak yang dibenci pasti si perempuan B walaupun
sebenarnya dia tak bersalah”
Mou mengangguk. Kemudian menghela nafas sama sepertiku.
“kau ingat kan apa yang dikatakannya setelah itu?”
Aku terhenyak.
“aku tak peduli
apapun kata orang, karena dia adalah pilihan hatiku”
Aku menghembuskan nafas lebih panjang. Aliran darahku
terasa menjadi tenang setelah diingatkan oleh kalimat barusan. Senyuman pun tak
dapat kupungkiri dari wajahku.
“nah.. apa salahnya kalau kau juga bersikeras
sepertinya?”
Aku tertegun. Mencerna perkataannya baik-baik kemudian
melayangkan pandanganku seolah berpikir. Hmmm.. bersikap acuh ya?
“akan kucoba..” senyumku pun melebar.
Luka ringan yang sempat kurasakan tadi langsung terasa
hilang setelah melihat sosoknya disana. Memandangiku dari sudut matanya. Ah,
lebih baik pura-pura tidak tau saja.
Aku memilih jajanan sambil memikirkan apa yang Mou
katakan tadi. Ternyata benar..
Lebih baik aku hidup dengan segala keegoisan tanpa
mendengarkan perkataan orang, tapi leluasa bergerak dan berbuat sesuka hati.
Daripada menghabiskan waktu untuk peduli dengan suara-suara sumbang yang lama
kelamaan akan melumpuhkanku dan kemudian membuatku mati terpuruk.
Hah.. Hidup adalah pilihan.
Dan aku amat yakin dengan hatiku. Seperti halnya dia yang
yakin pada hatinya. Tak ada yang perlu kuragukan lagi. Orang-orang tak perlu
tau apa urusan kami, biar kami yang menjalaninya dengan tenang.
“hai..”
“oh..”
Dia di depanku sekarang. Tersenyum hangat. Ya..hangat..
Sepertinya pembicaraan-pembicaraan aneh dan canda tawa
akan segera dimulai.
~OWARI~
“I want you to know, it was never the doctors
or the prescription that kept me going. It was always you, seeing you everyday.
That’s what kept me going.” - Melman